Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
SABAR SA'DELO KANGGO SA'LAWASE

Penyakit Hati dan Penawarnya


Diantara obat penyakit yang dapat di munculkan dari diri kita, adalah
Berdo’a
Bersyukur sekecil apapun nikmat yang kita terima
Hilangkan egois dan mengaku paling benar


وَقَالَ رَبُّكُمُ ادۡعُوۡنِىۡۤ اَسۡتَجِبۡ لَـكُمۡؕ اِنَّ الَّذِيۡنَ يَسۡتَكۡبِرُوۡنَ عَنۡ عِبَادَتِىۡ سَيَدۡخُلُوۡنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيۡنَ
" Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.”  ( Qs Ghafir  60 ).

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surah al-Ghafir ayat 60 di atas mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu menyandarkan sesuatu perkara hanya kepada Allah. Manusia pada hakikatnya adalah satu-satunya makhluk yang Allah berikan akal untuk berpikir dan berusaha. Akan tetapi, di balik kemampuan itu, tentunya ada kekuasaan Allah.

Jika ibadah digambarkan ke dalam struktur tubuh manusia maka do’a merupakan bagian otaknya ibadah. Do’a berperan merencanakan, memulai, dan mengevaluasi. Saat seseorang hendak melakukan pekerjaan dengan berdo’a, berarti dia sedang merencanakan sesuatu. Hal ini juga serupa jika do’a diibaratkan dengan sebuah pekerjaan yang mendapatkan imbalan. Seseorang yang melakukan pekerjaan pada sebuah perusahaan tentunya akan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Orang yang berdo’a pun akan mendapatkan imbalan, baik imbalan pahala atas apa yang dikerjakan ataupun imbalan berupa terkabulnya do’a. Kesimpulannya, do’a merupakan bagian dari ibadah. Makin banyak do’a dipanjatkan maka makin banyak imbalan atau pahala yang akan didapatkan. Lebih dahsyatnya, dari keutamaan berdo’a bagi kehidupan manusia adalah menolak qadar. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya yang diriwayatkan Ibnu Majah bahwa tidak dapat menolak qadar kecuali dengan do’a, “wa la yaruddu al-qadar illa ad-du’a.” (HR Ibnu Majah).

 Ada pun hikmah yang dapat diambil dari amalan ibadah dengan berdo’a banyak sekali diantara hikmah yang paling utama dari berdo’a adalah dekat dengan Allah. Berdo’a didefinisikan sebagai satu amalan ibadah dengan tujuan berzikir kepada Allah (mengingat Allah). Mengingat Allah dengan memperbanyak amalan ibadah melalui do’a adalah cara terbaik. “Maka, sesungguhnya Aku adalah dekat.” definisi dekat dikorelasikan dengan bagaimana seorang hamba mau berdo’a, meminta, dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sesungguhnya Allah itu dekat. Allah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa orang-orang yang taat melakukan ibadah senantiasa mengadakan pendekatan kepada Allah dengan memanjatkan do’a yang disertai keikhlasan hati yang mendalam. Tentunya, do’a yang terkabul adalah do’a yang disertai dengan keikhlasan hati serta bersifat kontinu. Hal ini banyak ditegaskan dalam ayat Alquran, diantaranya Q.S Al-A’raf ayat 55.

دْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas " (Q.S Al-A’raf, 55) 

BersyukurSekali lagi ingatlah akan kenikmatan Allah dan bertaqwalah kepada-Nya, seperti yang tersurat dalam firman-Nya

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ

" Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan) " (Q.S Fathir, 3)

Allah Ta’ala telah menumpahkan kenikmatan dan karunia kepada kita dan memerintahkan kita untuk mensyukurinya serta berjanji akan menambah kenikmatan-Nya kepada kita, sebagaimana Allah Ta’ala juga mengancam kepada siapapun yang mengkufuri nikmat dengan siksaan yang pedih. Maka perhatikanlah sikap-sikap kita terhadap nikmat Allah dan lihatlah orang-oarang yang telah mendahului kita, yang ada di sekeliling kita; yaitu mereka yang mengingkari dan mengkufuri nikmat Allah, berbuat kerusakan di muka bumi, mengganti kenikmatan dengan laknat dan kemurkaan, kecukupan dan keluasan rizki dengan kemiskinan dan kesempitan hidup, rasa aman tentram dengan rasa takut dan kekhawatiran. Waspadalah dari apa yang telah menimpa kepada mereka, jangan sampai kemurkaan Allah Ta’ala menimpa kita.

Dalam serapan asing dan bahasa Indonesia, kata egois berarti orang yang mementingkan diri sendiri, tidak peduli akan orang lain atau masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia online, egois berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri dari pada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan dan tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Ketika ada orang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri ketimbang orang lain, maka kita sebut ia adalah orang egois. Begitu juga, saat ada orang yang selalu ingin menang sendiri, kita sebut orang itu dengan sebutan yang sama, yaitu egois. Pernahkah kita melalukan tindakan yang menurut orang lain itu egois? Padahal dalam diri kita sendiri, tindakan itu sama sekali bukan egois. Tak jarang keegoisan seseorang membuat orang lain menjadi benci pada dirinya, bahkan tidak sedikit pula yang memusuhinya. Ketika awal mula berteman, sifat keegoisannya belum kelihatan, tetapi setelah lama-kelamaan akhirnya tahu juga bahwa sang teman mempunyai sifat egois. Tentu yang dilakukan adalah menjaga jarak dari sang teman atau memilih tidak menjadi temannya lagi. Coba kita bayangkan jika keegoisan tumbuh dalam sebuah keluarga. Biasanya, saat masih menjadi suami-istri baru, sifat egois tidak kelihatan, tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya kelihatan juga. Jika tidak pintar dalam menyikapinya bisa dipastikan hubungannya tidak bertahan lama, dan berakhir dengan perceraian.

BACA JUGA :
  1. Kedewasaan Cinta dan Nafsu
  2. Perbedaan Kasih dan Sayang Orang Tua Terhadap Anak
  3. Optimisme Feat Motivasi


Nabi Pernah Egois Semua manusia pernah egois, tetapi kadang secara sadar atau pun tidak sadar tidak merasa melakukannya. Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas : “Sedang Rasûlullâh menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman. Pada waktu yang sama, masuklah seoranglaki -laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum”. Dia masuk ke dalam majelis dengan tangan meraba-raba. Sejenak Rasûlullâh terhenti bicara, Ibnu Ummi Maktum memohon kepada Nabi agar diajarkan padanya beberapa ayat al-Qur’an. Beliau merasa terganggu sebab sedang menghadapi pemuka-pemuka Quraisy, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan. Beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy itu. Akhirnya Allâh menurunkan surat ‘Abasa yang artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kalian barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). (Qs. ‘Abasa : 1-4)

Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasûlullâh saw akan kekhilafannya itu. Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang ia minta. Ibnu
Ummi Maktum pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasûlullâh saw. Allâh swt begitu halus mengingatkan Rasûlullâh saat beliau sedikit saja melakukan kesalahan, sebab menurut Rasûlullâh melobi para pembesar Quraisy lebih penting dibandingkan dengan melayani Ibnu Ummi Maktum.

PON-PES AL - ISTIQOMAH
PON-PES AL - ISTIQOMAH Website resmi dari Yayasan Pendidikan Al-Istiqomah Karya Guna (YAPIKA), Tanjungsari, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382.

Post a Comment for "Penyakit Hati dan Penawarnya"

Pojok YAPIKA