Asal Usul Tahlilan Bagi yang baru meninggal : Benarkah Tradisi Hindu dan Bid'ah?
Membantah Tahlilan 7 hari hingga 1000 hari Amalan Bid'ah Bahkan Tradisi Hindu
Tak henti-hentinya pengikut Wahabi/Salafi
menyalahkan Amaliyah ASWAJA, khususnya di Indonesia ini. Salah satu yang paling
sering juga mereka fitnah adalah Tahlilan yang menurutnya tidak berdasarkan
Dalil bahkan dianggap rujukannya dari kitab Agama Hindu. Untuk itu, kali ini
saya tunjukkan Dalil-Dalil Tahlilan 3, 7, 25, 40, 100, Setahun & 1000 Hari
dari Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan kitab dari agama hindu
sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI.
Rasulullah saw bersabda: “Doa dan
shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.” Berkata Umar: “shodaqoh setelah
kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan
tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan
kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu
sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai
kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000
hari.”
Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi
Juz 2 Hal 198)
Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25,
40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu
ada Tahlilan ?
Berkumpul ngirim doa merupakan bentuk shodaqoh buat mayyit.
Ketika Umar sebelum wafatnya, ia
memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu
selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan
ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas
bin Abdulmuttalib:
Wahai hadirin.. sungguh telah
wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar
dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka
makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka
orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing dan makan.
Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li
Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al
Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz
26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]
BACA JUGA :
Kemudian dalam kitab Imam As
Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi: Imam Thawus berkata: “Sungguh
orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama
tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti
dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”
Dari Ubaid bin Umair ia berkata:
“Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur.
Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang
munafiq dis
iksa selama empat puluh hari.”
Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul
Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah
an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa
tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi bacaan
alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai.
Menurut Imam Syafi’i pada waktu
beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan
Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah
ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang
dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma
awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i
yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.
Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu
Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:
“Adapun sedekah untuk mayit, maka
ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu
terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan
sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku
berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika
aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga
bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar
kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.
Referensi : (Majmu’ al-Fatawa:
XXIV/314-315)
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan
perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan
al-Qur’an kepada mayit. dalam sebuah dalil yang artinya: “jika saja dihadiahkan
kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an /
kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
Referensi : (Majmu’ al-Fatawa:
XXIV/322)
Mengapa kami mengutip dalil dari Ibnu Taimiyah? yah karena kebanyakan Pengikut Salafi/Wahabi sering merujuk dalil suatu amalan pada beliau, maka perlu dijelaskan pula apa yang beliau sampaikan terkait tahlilan tersebut.
Sedangkan Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin
Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi
menegaskan;
“Disunnahkan untuk diam sesaat di
samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan
kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya,
dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat
al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan
al-Qur’an”.
Selain paparannya di atas Imam
Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;
“Dan disunnahkan bagi peziarah
kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit
yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih
sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau
diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an
semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh
Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh
pengikut-pengikutnya”.
Referensi : (al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzab, V/258)
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin
ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal
Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah
berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di
samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya
beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan
Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya
Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
Referensi : (al-Mughny II/566)
Wallohu a’lam Bisshowab
Post a Comment for "Asal Usul Tahlilan Bagi yang baru meninggal : Benarkah Tradisi Hindu dan Bid'ah?"