Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
SABAR SA'DELO KANGGO SA'LAWASE

SANTRI BERDIKARI PASTI TERUS NGAJI





“SANTRI BERDIKARI PASTI TERUS NGAJI”

Juara ll Santri Menulis
( Ahmad Fauzi SE )

Oleh:

AHMAD FAUZI





PONDOK PESANTREN PUTRA-PUTRI  AL ISTIQOMAH
TANJUNGSARI-PETANAHAN
KEBUMEN

2018



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Gemuruhnya suasana Bangsa, pasca memperingati hari santri nasional ke-tiga yang misi awal sebagai simbol kebangkitan santri di Indonesia, ketika santri bangkit maka Indonesia akan menemukan kemerdekaan sejati. Dengan mental santri yang kuat, bertanggung jawab dan mandiri ini sebagai modal besar untuk membangun Indonesia yang lebih bermartabat.
Paradigma santri di masyarakat yang sejak dahulu hanya terkenal sebagai pelaku ibadah, pribadi yang sederhana dan pejuang agama semata, kini sudah saatnya berubah. Orientasi santri perlu ditekankan untuk (juga) berkontribusi dalam bidang teknologi, informasi dan ekonomi.[1] Bagaimana santri mewujudkan itu semua?.
Perjalanan kaum santri dalam ranah pendidikan sudah tidak bisa diragukan lagi. Dibuktikan dengan adanya kader-kader dari pondok pesantren yang mayoritas cakap dalam memegang amanah di manapun ia berada. Tak heran jika pondok pesantren dahulu merupakan lembaga pengajaran yang digadang menjadi kekuatan perjuangan arus bawah.[2]
Tidak hanya dalam bidang pendidikan dan agama saja, bidang ekonomi juga menjadi perhatian serius di kalangan santri. Tidak dibenarkan bahwa kaum santri hanyalah memikirkan kepentingan akhirat saja. Kesadaran bahwa dunia adalah jembatan menuju akhirat harus mendorong kemapanan sebagai bekal ibadahnya. 
Seorang santri idealnya memiliki sifat yang bagus/ baik didorong dengan ketekunan dalam menuntut ilmu (spiritual) agama (ngaji) serta cakap dalam bidang ekonomi (dagang). Inilah garis besar sekaligus tantangan para santri untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Jaringan dinamis antar pesantren yang terkoneksi dengan baik bisa saja menjadi modal. Pun dengan tarekat dan spiritual yang kuat dan mantap disertai dengan hubungan intensif guru-murid yang tiada dibedakan.[3]
Bermodalkan jaringan antar alumni, sanad keilmuan, dan ukhuwah santri, seharusnya santri bisa membangun ekonomi mandiri. Terbukti bahwa santri mampu melakukan gebrakan (sekali lagi) demi kepentingan kemandirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika dahulu kaum santri turut serta berjuang melawan kolonialisme, kini kaum santri harus melihat lebih cerdas tentang potensi yang dimiliki.
Sejak sebelum kemerdekaan, Indonesia yang kental dengan nasionalisme dan patriotisme membangun ekonominya sendiri tanpa berharap modal asing. Para organisasi massa, termasuk santri, tumbuh dan bersaing dalam satu visi; membangun Indonesia berdikari. Semangat kekeluargaan menjadi kekuatan utama dalam mengatasi persoalan ekonomi saat itu. 
Di situlah peran santri bisa dimaksimalkan. Para kiai menebarkan petuah dan kebijakan yang turut menentramkan hati pengikutnya. Semangatnya dalam membina umat (ruh ad-da’wah) menuju Ridla Ilahi, mewujudkan bangsa dan negara yang bijak dan mendapat ampunan-Nya (baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur). 
Selanjutnya, minat pasar yang sedang gandrung dengan konsep ekonomi syariah baru-baru ini merupakan peluang besar bagi para santri. Bekal ilmu dan hukum Islam yang dalam para santri bisa mengembangkan ekonomi syariah sebagai tonggaknya. Sudah saatnya, paradigma santri tidak hanya memikirkan khilafiyah dalam hal hukum syar’i saja. 
Persoalan santri tidak sebatas memecahkan masalah (batsul masa’il) dalam koridor ibadah mahdlah saja. Seperti yang dilakukan para pendahulunya, santri harus berkembang menjadi penggerak dan pelopor kemakmuran bangsa. Di Indonesia, tersebar ribuan pondok pesantren dengan jutaan santri tersebar seisi Nusantara. Hukum ekonomi ala santri harus digulirkan secepatnya. Yaitu dengan membangun kaum santri yang cakap dalam melihat pasar, menciptakan inovasi ekonomi yang menggabungkan konsep islam dengan potensi lokal kita sendiri. Begitulah bangsa kita bisa mandiri, bersama santri membangun ekonomi (syariah) yang digdaya. 
Kemandirian bangsa Indonesia harus ditingkatkan mulai dari mandiri dibidang pangan, teknologi dan ekonomi. Misalkan kemandirian ekonomi harus diperkuat didalam pengelolaan dan pemasaran agar tidak hanya tergantung dan dipermainkan oleh bangsa lain. Ketika bangsa ini mengandalkan produk-produk buatan bangsa lain maka sulit bangsa ini akan bangkit dari keterjatuhan dan keterpurukan, oleh karena dengan momentum hari santri ini kebangkitan ekonomi harus terwujud dengan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat.
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) titik pentingnya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu potensi ini harus didorong memotivasinya dan membangkitkan kesadaran dan berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih konkrit, dari hanya sebatas menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kedalam sebagai peluang (opportunities).
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena ketidak mampuan dalam bersaing dengan yang kuat.
Beberapa hal untuk mengembangkan potensi manusia yang  pada gilirannya akan muncul kemandirian bangsa, hal ini sudah dilakukan oleh pondok pesantren dengan cara bagaimana santri tidak hanya belajar ilmu agama dan ilmu umum akan tetapi juga dididik agar menjadi wirausaha yang nantinya ketika sudah hidup didalam masyarakat mempunyai kemandirian dibidang perekonomian, akan tetapi yang menjadi penting bagaimana pemerintah bisa menangkap sinyal bahwa kemandirian yang ada dalam diri santri dan pondok pesantren bisa di ambil untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dalam perekonomian, ada pemerataan hak untuk sejahtera jangan sampai terjadi kesenjangan kesempatan didalam pengembangan kewirausahaan yang hanya memberikan peluang kepada pengusaha-pengusaha besar dalam hal ini sebenarnya sangat merugikan bangsa indonesia. 
Sejauh ini, tetaplah tugas seorang santri ialah terus ngaji. Namun di sisi lain bangsa menuntut warganya (termasuk santri) untuk senantiasa berdikari demi tegaknya dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Lantas, bagaimanakah santri dan pemerintah seharusnya menyikapi, karena pemerintah sendiri sebagai pemangku kebijakan demi terealisasinya kedua cita-cita antara santri dan pemerintah bisa berjalan beriringan. Dengan menuai hasil sesuai yang dicita-citakan.

2.      Rumusan Masalah
a.       Apa maksud dari santri berdikari pasti terus ngaji?
b.      Bagaimana mewujudkan santri berdikari terus ngaji?
c.       Bagaimana seharusnya pemerintah berperan untuk realisasi?
d.      Apa manfaat ketika santri berdikari terus ngaji?


B.     PEMBAHASAN

Menelisik asal muasal tercetusnya Hari Santri Nasional yang langsung ditetapkan oleh presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo, tentu kita tidak akan menjaustice bahwa yang namanya santri hanya yang ada di pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya, Santri adalah status yang disandang seorang pelajar yang menimba ilmu di lembaga pendidikan islam (pondok pesantren), status ini akan terus disandang selama ia masih menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren, dan atau masih berada di pondok pesantren, akan tetapi sudah mempunyai kemampuan menularkan ilmu pengetahuan kepada santri-santri yuniornya.[4]
Seorang santri yang dibiasakan dalam kurun waktu 24 jam, sejak bangun tidur pagi waktu subuh sampai tidur kembali pada malam harinya, selalu bersama-sama beserta santri-santri lainnya, yaitu diisi dengan kegiatan belajar, beribadah dan berkreatifitas, ia senantiasa dibimbing oleh santri-santri senior yang telah lama berada di pondok pesantren dan disebut dengan seorang ustadz/ ustadzah, dengan pengawasan dan pembinaan langsung oleh seorang kyai, yang disebut dengan pengasuh.
Berbeda dengan status yang disandang oleh seorang pelajar yang hanya menimba ilmu pengetahuan pada sekolah atau lembaga pendidikan formal, tentu status yang disandang bukan santri lagi, akan tetapi disebut dengan siswa atau siswi, dan waktu yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran hanya berkisar 6 atau 7 jam saja dalam sehari, dimulai kurang lebih pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 13.45 WIB, diluar jam tersebut bukan tanggungjawab mutlak pihak penyelenggara pendidikan.
Dapat kita tarik benang merah bahwa tugas santri yang sesungguhnya ialah terus ngaji, dan secara otomatis ketika santri tersibukan dengan mengaji otomatis santri akan tahu bagaimana ia harus berdikari. Karena berdikari yang semestinya tak harus santri tersebut terjun diranah politisi misalnya.
Selanjutnya, kehidupan dalam lingkungan pesantren dibagi secara terpisah antara putera dan puteri, tidak bercampur-baur, dan juga tidak ada akses komunikasi dan komunikasipun terbatas bagi santri yang berlainan jenis tersebut, sehingga setiap harinya santri putera yang ditemui hanyalah santri putera saja, dan begitu pula sebaliknya. Dan berbeda jauh dengan lembaga pendidikan formal lainnya yang kadang masih mencampuradukkan antara siswa dan siswinya, bisa dibandingkan tingkat keamanan dan kenyaman dalam proses belajar serta fokusnya siswa dalam menerima pembelajaran.
Tempat tinggal yang didiami seorang santri kadangkala berada dalam satu kamar (bilik) yang dibuat semi permanen (dari gedek, berbentuk warung) dan ada kamar yang sudah permanen (berbentuk bangunan gedung), yang mana seorang santri terkadang harus berdesak-desakan saking dari banyaknya, sehingga didalam kamar hanya ditempati buku, pakaian dan kebutuhan hidup lainnya, sedangkan untuk istirahat bisa didalam kamar (bilik) tersebut, akan tetapi jika daya tampunya terbatas maka tempat istirahatnya bisa dilakukan dimana saja, di emper masjid, emper mushalla, teras dan lainnya.[5]
Perbedaan latar belakang daerah, adat-istiadat, budaya, bahasa, perilaku, keilmuan, serta status sosial yang disandangnya sebelum menjadi santri, akan ikut mewarnai dalam kehidupan dilingkungan pesantren, disinilah akan terjadi akulturasi, saling memberi dan menerima terhadap perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga menjadi komunal yang selanjutnya akan dibentuk karakter santri yang berciri khas pesantren oleh pengasuh dan ustadznya. Seperti santri yang berasal dari suku Jawa, Batak, Madura, dan lain sebagainya akan bertemu dan terjadilah akulturasi budaya, komunikasi yang intens untuk tukar-menukar bahasa daerah yang beragam tersebut, serta akan memperkenalkan pengalaman-pengalaman dari daerah masing-masing.
Terbiasa dengan hidup seadanya membuat pola pikir santri akan cenderung lebih kreatif dan inovatif dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Utamanya misal permaalahan bangsa, yang mana pada akhir-akhir ini santri semakin dipolitisasi oleh kebijakan pemerintah.
Ada beberapa pesantren yang menerapkan model pendidikan modern (santri belajar pada madrasah atau perguruan tinggi yang dengan kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia, seperti KTSP ataupun Kurikulum 2013) semi modern (santri belajar pada madrasah atau perguruan tinggi yang dengan kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia tetapi ditambah dengan kurikulum lokal) dan atau salafiyah (santri belajar dengan kurikulum lokal yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren).
Model atau metode dan kitab-kitab kuning pembelajaran lokal yang diajarkan menjadi ciri khas pondok pesantren, seperti pembelajaran Kitab Fathul Qarib, Kitab Bulughul Maram, Kitab Hadits Sunan Abi Daud, Kitab Hadits Bukhari Muslim dan sebagainya. Tentu,di dalam pondok pesantren, juga diajarkan tatakrama, sopan santun serta akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, cara bergaul, berbicara, bertingkah laku, terutama bagaimana menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, secara khusus tidak ada kurikulum yang mengatur tentang hal ini, akan tetapi dalam hal ini sudah menjadi turun-temurun diajarkan dan dibiasakan, agar menjadi bekal nantinya jika kembali ke masyarakat /lingkungan diamana dia berasal.
Pengajaran hal seperti ini, diilhami dari norma Agama Islam, sehingga seorang santri tidak hanya akan bisa menjadi orang yang sopan, santun dan berakhlaqul karimah, tetapi juga diimbangi dengan pengetahuan keagaamaan dan keilmuan yang sepadan. Sopan santun dalam pergaulan, bahasa yang disampaikan, cara berbicara dengan lemah lembut, akan semakin tampak apabila semakin lama berada di dalam lingkungan pondok pesantren.
Disamping lembaga pendidikan dari Madrasah Ibtidiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Perguruan Tinggi (PT) yang dijadwalkan pada pagi hari, juga diterapkan pendidikan yang dilakukan secara klasikal yang diformalkan, seperti Madrasah Diniyah, Madrasah Diniyah Ta’miliyah, Baramij Attarbiyah Wa Atta’lim dengan tiga macam jenis tingkatan, Ula, Wustha dan Ulya, yang dijadwalkan pada sore hari. Sedangkan pada malam hari diisi dengan kegiatan kursus, kelompok belajar, kelompok sanggar sastera, kelompok kajian kitab kuning dan sebagainya.
Sempat menjadi top tranding pula dalam hal Full Day School (FDS) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru-baru ini, dimaksudkan agar memberikan penguatan atas pendidikan karakter pada anak-anak usia sekolah serta memperkuat nilai moral atau akhlaq dan keperibadian peserta didik, langkah yang sangat Ekstrim tanpa mempertimbangkan positif dan negatifnya, serta perencanaan yang matang tentu sudah banyak menuai protes dari berbagai kalangan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2017 tentang Full Day School (FDS) yang akan diberlakukan mulai tahun pelajaran 2017-2018, apabila diberlakukan secara efektif di Republik Indonesia akan mempunyai efek negatif pada Madrasah Diniyah, Madrasah Diniyah Ta’miliyah, Baramij Attarbiyah Wa Atta’lim, yang pelaksanaanya berbarengan pada waktu pada sore hari. Lalu 8 jam sehari, bagaimana dengan nasib Madrasah Diniyah, Madrasah Diniyah Ta’miliyah, Baramij Attarbiyah Wa Atta’lim yang didalamnya ada pondok pesantren? Jawabnya sudah pasti, Hangus! Ngeri bukan???
Implikasi terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2017, harus diakukan revisi terhadap Perauran Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang diantaranya perlu perubahan atas ekuivalensi beban kerja guru, masih siapkah menjadi guru dengan waktu yang melelahkan tersebut?.
Lalu, sedemikian parahkah lembaga pendidikan kita? Tidak! Ada benteng terakhir yang tetap kokoh berdiri dalam memberikan penguatan pendidikan karakter pada anak-anak usia sekolah serta memperkuat nilai moral atau akhlaq dan keperibadian peserta didik, yaitu hanya ada di Madrasah Diniyyah, TPQ, dan Pondok Pesantren.
Pondok pesantren didirikan untuk membina generasi yang kental dengan tatakrama, sopan santun dan akhlaqul karimah sebagai fondasi dalam kemandirian hidup, kemudian akan dibekali dengan ilmu pengetahuan untuk berkreasi dalam kehidupan. Seorang santri akan dibina mentalnya dan diisi dengan pengetahuan yang berorientasi pada Tafaquh Fiddin, taqwa tawaddu’, istiqamah, istidlal agar mengenal secara utuh Tuhannya, menghargai sesamanya.
Lalu bagaimana dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2017, Apakah mesti dihapus? Peraturan ini tidak perlu dihapus, karena peraturan ini mempunyai efek yang kuat untuk membangun karakter generasi bangsa, peraturan ini sangat efektif untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perlu menerbitkan peraturan baru, yaitu efektifitas FDS hanya berlaku untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan tidak berlaku bagi Madrasah Diniyyah, TPQ, dan Pondok Pesantren.
Dan bila perlu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perlu menerbitkan peraturan tentang jam belajar yang berlaku pada malam hari antara pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00, agar tentu Bangsa Indonesia ini seperti pondok pesantren besar yang berada di garis khatulistiwa. Jadi sebenarnya pemerintah sangat kurang tepat ketika membuat kebijakan yang mana kebijakan tersebut palah menggeser ciri khas santri itu sendiri. Tak disadari itu hanya akan memecah belah keadaan santri yang tadinya fokus dengan ngaji, eh palah tergeser dengan politisasi berbajukan Santri. Selamat Hari Santri Nasional. Salam Dari Santri Al Istiqomah Tanjungsari Petanahan Kebumen.

C.    KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penjabaran dalam pembahasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dinamakan Santri itu tidak hanya yang tinggal di Pondok Pesantren semata, namun ketika bicara Hari Santri Nasional maka para pelajar yang belajar keagamaan di Madrasah Diniyyah, begitupun di Taman Pendidikan Al Qur’an pun termasuk santri. Mereka semua punya hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Itupun ketika memang pemerintah tulus ikhlas akan mengangkat harkat martabat santri.
Lantas bicara masalah tugas santri yang pertama ialah terus ngaji di manapun ia berada, yang di mushola, di masjid, bahkan di pondok pesantren pun, ketika mereka mengaku santri sudah semestinya ia mengaji. Nah setelah itu barulah ia akan menuai hasil atau bekal untuk berdikari. Ngaji saja belum becus, sudah mau berdikari? Mau di bawa kemana Negeri ini?. Nah, dalam hal ini boleh lah pemerintah berperan aktif. Namun, jangan sampai salah kebijakan seperti kebijakan-kebijakan yang sempat membuat geger kaum santri itu sendiri.

SANTRI TETAPLAH SANTRI, BERDIKARINYA SANTRI YA TERUS NGAJI!!!!

D.    DAFTAR BACAAN

Abu Yasid (2018). Paradigma Baru Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD.

Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan pondok Pesantren (2004). Panduan Praktis Pelayanan Pondok Pesantren Pada Masyarakat Bidang Muamalah. Jakarta: DPKPP.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan pondok Pesantren (2003). Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta: Ditpekapontren.
Dumasari (2014). Dinamika Pengembangan Masyarakat Partisispatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Imam Santosa (2014). Pengembangan Masyarakat Berbasis Sumber Daya Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irwan Abdullah, Dkk (2008). Agama, Pendidikan Islam, Dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad Takdir (2018). Modernisasi Kurikulum Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD.

Yusuf Qardhawi (2003). Masyarakat Berbasis Syariat Islam Akidah, Ibadah, Akhlak. Solo: Era Intermedia.
Zamakhsyari Dhofier (2011). Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.



Ahmad Fauzi, lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 12 Agustus 1995. Ia adalah alumni SMK KOMPUTER Karanganyar tahun 2013. Saat ini, ia tercatat sebagai Santri Pondok Pesantren Al Istiqomah Tanjungsari Petanahan Kebumen Jawa Tengah.
            Sedari duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dulu, ia menyadari betapa pentingnya organisasi disamping kegiatan formal belajar. Sejak SMK, ia aktif di kegiatan organisasi OSIS  dan Saka Bhayangkara, sering di minta untuk menjadi Master of Ceremony (MC) bahkan menjadi pemimpin ketika upacara rutin hari senin. Di sisi lain, ia banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan menulis. Berlanjut ketika nyantri, ia tidak bosan-bosannya mengikuti kegiatan organisasi yaitu Kepengurusan Pondok Pesantren, pada organisasi inilah ia terlatih mentalnya untuk bersikap dewasa dan disiplin waktu.
Kritik dan saran sangat diharapkan guna peningkatan kualitas dan penulisan selanjutnya. Untuk itu, silahkan kirim kritik dan saran ke :
Email          : ahmozy12@gmail.com
HP/ WA     : 0813 2962 7464
FB              : Ahmozy Kebumen
IG               : @ahmozy12
Yb               : Bang Ozi I Ahm Ozy I Yapikagroup




[1]) Abu Yasid (2018). Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: IRCiSoD, hal. 14.
[2]) Ibid., hal. 13.
[3]) Ibid., hal. 143.
[4]) Zamakhsyari Dhofier ( 2011). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, hal. 88.
[5]) Ibid., hal. 80.

PON-PES AL - ISTIQOMAH
PON-PES AL - ISTIQOMAH Website resmi dari Yayasan Pendidikan Al-Istiqomah Karya Guna (YAPIKA), Tanjungsari, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382.

Post a Comment for "SANTRI BERDIKARI PASTI TERUS NGAJI"

Pojok YAPIKA